Pernah merasa kelelahan? bukan karena pekerjaan itu sendiri, tapi karena terlalu banyak pikiran yang bercampur di kepala? Kita sering memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa kita kendalikan. Misalnya, apakah orang lain akan suka dengan ide kita, apakah cuaca mendukung, atau apakah pasar akan merespons produk yang kita buat.
Di sinilah Dikotomi Kendali hadir sebagai “kompas” sederhana. Konsep ini mungkin terdengar filosofis, tapi sebenarnya sangat praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita bahas lebih dalam
Dikotomi kendali adalah cara membagi dunia kita menjadi dua kategori besar:
1. Hal-hal yang bisa kita kontrol
2. Hal-hal yang tidak bisa kita kontrol
Sederhana sekali, kan? Tapi dampaknya besar. Dengan memilah mana yang ada di bawah kendali kita dan mana yang tidak, kita bisa lebih bijak dalam mengarahkan energi, waktu, dan perhatian.
Konsep ini banyak dipopulerkan oleh filosofi Stoik, yang intinya mengajarkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan batin datang dari kemampuan kita membatasi pikiran hanya pada hal-hal yang benar-benar bisa kita lakukan.
Kita tidak bisa mengendalikan semua hal di dunia, tapi selalu ada ruang yang bisa kita atur. Berikut contoh nyata:
• Cara menyusun jadwal
Mau bangun jam 5 pagi atau jam 9 siang, itu pilihanmu. Disiplin waktu sepenuhnya dalam kendali pribadi.
• Reaksi terhadap tantangan
Masalah datang tanpa permisi. Tapi apakah kamu akan marah, panik, atau tetap tenang, itu semua kembali pada keputusanmu.
• Usaha dan komitmen
Kamu mungkin tidak bisa memastikan hasil ujian sempurna, tapi kamu bisa memilih untuk belajar sungguh-sungguh.
Hal-hal ini mungkin terlihat kecil, tapi justru kunci dari perubahan besar. Ketika fokus diarahkan ke apa yang bisa dikontrol, hidup jadi terasa lebih stabil.
Sebaliknya, ada hal-hal yang meskipun kita pikirkan habis-habisan, tetap tidak bisa diubah sesuai keinginan kita.
• Keputusan orang lain
Kamu bisa memberikan masukan terbaik, tapi keputusan atasan atau klien tetap di tangan mereka.
• Hasil akhir sebuah proyek
Meski sudah menyiapkan segalanya, tetap ada faktor tak terduga.
• Kondisi eksternal
Cuaca, ekonomi, bencana alam, hingga lalu lintas, semuanya berada di luar kendali pribadi.
Kalau terus memikirkan hal-hal ini, kita hanya akan terjebak dalam kecemasan yang tidak ada ujungnya.
Bayangkan kamu sedang presentasi penting. Kamu bisa mengontrol persiapan, penguasaan materi, dan cara berbicara. Tapi kamu tidak bisa mengontrol apakah audiens akan menyukai ide itu atau tidak.
Jika kamu fokus pada yang bisa dikontrol, energi akan terpakai untuk hal produktif: latihan, revisi materi, hingga menenangkan diri. Sebaliknya, kalau terlalu sibuk khawatir tentang reaksi audiens, energi habis di pikiran, bukan di persiapan.
Dengan kata lain, dikotomi kendali mengajarkan kita untuk:
• Mengurangi stres
• Meningkatkan produktivitas
• Menjaga kesehatan mental
• Membuat keputusan lebih bijak
Kamu mungkin nggak bisa mengontrol keputusan atasan yang tiba-tiba mengubah target, tapi kamu bisa mengontrol cara kerja timmu: komunikasi, pembagian tugas, dan kualitas hasil. Fokus ke sana akan lebih berguna daripada menggerutu soal target.
Dalam hubungan, kita tidak bisa mengontrol sepenuhnya sikap pasangan atau teman. Tapi kita bisa mengontrol bagaimana kita berkomunikasi, seberapa sabar kita menghadapi perbedaan, atau bagaimana kita menjaga kepercayaan.
Pasar bisa naik turun, harga barang bisa melonjak. Itu di luar kendali. Tapi kita bisa mengontrol bagaimana cara mengatur budget, menyisihkan tabungan, atau mencari tambahan pemasukan.
Kita tidak bisa mengontrol genetik atau kondisi tertentu. Tapi kita bisa mengontrol pola makan, olahraga, tidur cukup, dan pola hidup sehat lainnya.
Jujur saja, meskipun terlihat sederhana, menerapkan konsep ini tidak selalu mudah. Pikiran kita sering otomatis lari ke hal-hal yang di luar kendali.
Beberapa tantangan umum:
• Overthinking: terlalu fokus pada hal-hal yang belum tentu terjadi.
• Perfeksionisme: ingin semua berjalan sesuai rencana.
• Takut kehilangan kontrol: merasa harus memegang kendali penuh atas segala hal.
Kuncinya adalah latihan. Semakin sering kita mengingatkan diri untuk memisahkan keduanya, semakin mudah melakukannya.
Pada akhirnya, dikotomi kendali bukan hanya soal produktivitas kerja. Ini soal bagaimana kita menjalani hidup dengan lebih tenang. Ketika kita berhenti menghabiskan energi untuk hal-hal di luar kendali, pikiran jadi lebih ringan. Kita bisa lebih fokus pada kualitas diri, membangun kebiasaan baik, dan menjaga hubungan dengan orang lain.
Seperti pepatah bijak:
“Kita tidak bisa mengendalikan arah angin, tapi kita bisa mengatur layar perahu.”
Dengan begitu, kita tetap bisa melaju ke tujuan, meski kondisi sekitar tidak selalu mendukung.
Mari sama-sama belajar untuk lebih sadar: kendalikan yang bisa dikendalikan, lepaskan yang tidak. Dengan begitu, hidup kita akan lebih eling, waras, dan bahagia.